Kamis, 27 November 2014

PENYEBARAN ISLAM DI MALUKU



  1. Pendahuluan
Maluku atau yang dikenal secara internasional sebagai Moluccas adalah salah satu provinsi tertua di Indonesia. Ibukotanya adalah Ambon. Pada tahun 1999, sebagian wilayah Provinsi Maluku dimekarkan menjadi Provinsi Maluku Utara, dengan ibukota di Sofifi. Provinsi Maluku terdiri atas gugusan kepulauan yang dikenal dengan Kepulauan Maluku.
Suku bangsa Maluku didominasi oleh ras suku bangsa Melanesia Pasifik yang masih berkerabat dengan Fiji, Tonga dan beberapa bangsa kepulauan yang tersebar di kepulauan Samudra Pasifik.
Banyak bukti kuat yang merujuk bahwa Maluku memiliki ikatan tradisi dengan bangsa bangsa kepulauan pasifik, seperti bahasa, lagu-lagu daerah, makanan, serta perangkat peralatan rumah tangga dan alat musik khas, contoh: Ukulele (yang terdapat pula dalam tradisi budaya Hawaii).
Mereka umumnya memiliki kulit gelap, rambut ikal, kerangka tulang besar dan kuat serta profil tubuh yang lebih atletis dibanding dengan suku-suku lain di Indonesia, dikarenakan mereka adalah suku kepulauan yang mana aktivitas laut seperti berlayar dan berenang merupakan kegiatan utama bagi kaum pria.
Sejak zaman dahulu, banyak di antara mereka yang sudah memiliki darah campuran dengan suku lain, perkawinan dengan suku Minahasa, Sumatra, Jawa, Madura, bahkan kebanyakan dengan bangsa Eropa (umumnya Belanda dan Portugal) kemudian bangsa Arab, India sudah sangat lazim mengingat daerah ini telah dikuasai bangsa asing selama 2300 tahun dan melahirkan keturunan keturunan baru, yang mana sudah bukan ras Melanesia murni lagi. Karena adanya percampuran kebudayaan dan ras dengan orang Eropa inilah maka Maluku merupakan satu-satunya wilayah Indonesia yang digolongkan sebagai daerah Mestizo. Bahkan hingga sekarang banyak marga di Maluku yang berasal bangsa asing seperti Belanda (Van Afflen, Van Room, De Wanna, De Kock, Kniesmeijer, Gaspersz, Ramschie, Payer, Ziljstra, Van der Weden dan lain-lain) serta Portugal (Da Costa, De Fretes, Que, Carliano, De Souza, De Carvalho, Pareira, Courbois, Frandescolli dan lain-lain). Ditemukan pula marga bangsa Spanyol (Oliviera, Diaz, De Jesus, Silvera, Rodriguez, Montefalcon, Mendoza, De Lopez dan lain-lain) serta Arab (Al-Kaff, Al Chatib, Bachmid, Bakhwereez, Bahasoan, Al-Qadri, Alaydrus, Assegaff dan lain-lain). Cara penulisan marga asli Maluku pun masih mengikuti ejaan asing seperti Rieuwpassa (baca: Riupasa), Nikijuluw (baca: Nikiyulu), Louhenapessy (baca: Louhenapesi), Kallaij (baca: Kalai) dan Akyuwen (baca: Akiwen).
Dewasa ini, masyarakat Maluku tidak hanya terdapat di Indonesia saja melainkan tersebar di berbagai negara di dunia. Kebanyakan dari mereka yang hijrah keluar negeri disebabkan olah berbagai alasan. Salah satu sebab yang paling klasik adalah perpindahan besar-besaran masyarakat Maluku ke Eropa pada tahun 1950-an dan menetap disana hingga sekarang. Alasan lainnya adalah untuk mendapatkan kehidupan yang labih baik, menuntut ilmu, kawin-mengawin dengan bangsa lain, yang dikemudian hari menetap lalu memiliki generasi-generasi Maluku baru di belahan bumi lain. Para ekspatriat Maluku ini dapat ditemukan dalam komunitas yang cukup besar serta terkonsentrasi di beberapa negara seperti Belanda, Inggris, Amerika Serikat, Rusia, Perancis, Belgia, Jerman dan berbagai benua lainnya.
Mayoritas penduduk di Maluku memeluk agama Kristen dan Islam. Hal ini dikarenakan pengaruh penjajahan Portugis dan Spanyol sebelum Belanda yang telah menyebarkan kekristenan dan pengaruh Kesultanan Ternate dan Tidore yang menyebarkan Islam di wilayah Maluku serta Pedagang Arab di pesisir Pulau Ambon dan sekitarnya sebelumnya. Tempat ibadah di Provinsi Maluku pada tahun 2008 adalah Mesjid 1.188 buah, Gereja 1.022 buah, Pura 10 buah dan Wihara 4 buah. Sedangkan Pemeluk agama Islam sebesar 50,03 persen, Kristen Protestan sebesar 39,04 persen, Kristen Katholik 10,06 persen, Hindu 0,20 persen dan Budha 0,03 persen dan lainnya 0,65. Pada tahun 2008, jemaah haji yang pergi ke Mekkah sebanyak 621 orang, dimana jemaah haji terbanyak berasal dari Kota Ambon sebanyak 339 orang.
Sama seperti suku-suku bangsa lain di Nusantara, maka di Maluku juga sebelum masuknya pengaruh agama-agama resmi (Islam dan Kristen), manusia pribumi sejak dahulu telah berada dalam suasana pengaruh alam sekitarnya, yang turut membentuk cara-cara berfikir dan pandangan hidup, selaku manusia alamial, yaitu manusia yang menggantungkan hidup dan nasibnya pada kekuatan-kekuatan alam ini.
Keadaan yang demikian dengan sendirinya megnakibatkan manusia itu tidak bebas dalam menghadapi segala tantangan alam. Timbulnya rasa segan dan takut serta heran terhadap segala tantangan alam membuat dia mencari jalan untuk menemui rahasia daripada segala yang terjadi itu. Gejala kepercayaan inilah yang disebut “AGAMA atau RELIGI”, yaitu dorongan keinginan manusia untuk mendapatkan hubungan dengan yang di luar dia.
Masyarakat Maluku sebelum masuknya agama Islam dan Kristen juga sudah mempunyai agama yang dapat disebut sebagai “Kepercayaan setempat” atau Kepercayaan Asli”.
Adapun inti daripada agama asli ini ialah kepercayaan terhadap ANIMISME dan DINAMISME. Masyarakat masih menganut kepercayaan animism yaitu kepercayaan terhadap arwah orang-orang yang telah meninggal, kepada magi-magi. Mereka mengangap bahwa seluruh ala mini ada mempunyai “jiwa dan roh”. Upacara-upacara adat yang ada dewasa ini jelas memperlihatkan hal itu. Selain animisme, mereka mengenal pula “dinamisme”, yaitu kepercayaan terhadap kekuatan-kekuatan yang tidak berwujud yang menguasai segala sesuatu dan menakutkan.
Kepercayaan dinamisme ialah kepercayaan terhadap batu-batu, pohon atau benda lain tertentu yang dianggap mempunyai kekuatan rahasia. Ada tempat-tempat yang dianggap suci, yang mengandung hal-hal yang tahbis, tapi ada pula tempat-tempat yang menakutkan yang daripadanya diperoleh kekuatan gaib.
Selain kepercayaan terhadap kekuatan-kekuatan animism dan dinamisme, masyarakat Maluku dahulu juga sudah mengenal konsep-konsep tentang adanya satu roh tertinggi sebagai pencipta segala sesuatu. Jadi kepercayaan terhadap semacam Tuhan.
Mengenai penyebaran Islam di Maluku, penulis hanya membatasi pembahasan yaitu hanya seputar sejak kapan dan bagaimana proses masuknya Islam ke Maluku? Siapa yang menyebarkannya? Dan bagaimana perkembangannya?. Bedasarkan dugaan awal, bahwa Islam masuk ke daerah Maluku di bawa oleh para pedagang Islam yang singgah di Nusantara.
  1. Deskripsi Wilayah Maluku


Sesuai Surat Keputusan Gubernur No. 1475 Tahun 2004 tentang Penetapan Jumlah, Nama dan Nomor Kode Wilayah Administrasi Pemerintahan Provinsi Maluku tahun 2004, secara administratif, Provinsi Maluku terdiri dari 7 (tujuh) kabupaten dan 1 (satu) kotamadya, yaitu Kabupaten Maluku Tenggara Barat, Kabupaten Maluku Tenggara, Kabupaten Maluku Tengah, Kabupaten Buru, Kabupaten Kepulauan Aru, Kabupaten Seram Bagian Barat, Kabupaten Seram Bagian Timur, dan Kotamadya Ambon. Dan terdiri dari 64 Kecamatan, 886 Desa/Kelurahan.
Pada tahun 2000 jumlah penduduk di Provinsi Maluku tercatat sebanyak 1.200.067 jiwa (hasil sensus penduduk 2000), sedangkan sesuai hasil registrasi penduduk 2004 - 2006 jumlah penduduk tercatat 1.313.022 jiwa pada tahun 2004, dan tahun 2005 mencapai 1.350.156 jiwa, dan pada tahun 2006 menjadi 1.384.585 jiwa. Tercatat laju pertumbuhan penduduk sebesar 0,91% per tahun.
Angka pertumbuhan penduduk antara 8 kabupaten/kota sangat bervariasi. Kabupaten Buru dan Maluku Tenggara mengalami penurunan jumlah penduduk selama tahun 2000 - 2005, sementara kabupaten lainnya mengalami peningkatan jumlah penduduk. Bahkan Kota Ambon mengalami peningkatan yang cukup tajam, yaitu mencapai 4,98%.
Penyebaran penduduk di Provinsi Maluku sangat tidak merata. Berdasarkan hasil Registrasi Penduduk 2006 persentase penduduk Kabupaten Maluku Tengah Tercatat lebih tinggi dari Kabupaten yang lain yaitu 25,81%, sementara Kabupaten Aru hanya mencapai 5,23%.
Luas wilayah Provinsi Maluku secara keseluruhan adalah 581.376 km2, terdiri dari luas lautan 527.191 km2 dan luas daratan 54.185 km2. Dengan kata lain sekitar 90% wilayah Provinsi Maluku adalah lautan.
Provinsi Maluku terletak antara 20dan 30 menit sampai 90Lintang Selatan dan 124 - 136 derajat Bujur Timur.
Provinsi Maluku merupakan daerah kepulauan yang terdiri dari 559 pulau, dan dari jumlah pulau tersebut terdapat beberapa pulau yang tergolong pulau besar.

  1. Masuknya Islam Di Maluku
Bentuk dan motivasi masuknya Islam ke Maluku tidak bisa dibicarakan lepas dari bentangan perjalanannya dari Malaka dan Jawa. Mengambil titik berangkat dari situ, berarti kita diajak untuk melihat metode-metode dasar yang dipakai para khalifah, yakni melalui tindakan ekonomi (perdagangan). Tetapi kemudian bagaimana mereka berhasil mengadaptasi diri di dalam masyarakat, dan membangun komunikasi dengan para pemimpin lokal di suatu wilayah (aspek politik), serta juga menggunakan mekanisme-mekanisme kebudayaan sebagai cara mengadaptasi diri secara efektif (aspek kebudayaan).
Setidaknya, dari sisi metode kebudayaan, setiap jejak yang ditinggalkan Islam di satu daerah juga meninggalkan bukti bahwa Islam sangat intens berdialog dengan kebudayaan masyarakat setempat. Contoh paling sederhana adalah ketika ada peninggalan mesjid-mesjid yang khas Jawa, Banten, atau juga mesjid-mesjid yang khas Maluku (seperti Mesjid Wapauwe di Hila).
Titik berangkat itu yang membuat pertemuan Islam dengan Kerajaan Ternate berlangsung tanpa masalah yang berarti. Kerangka kebudayaan orang-orang Ternate malah dijadikan sebagai batu loncatan dalam melebarkan ajaran-ajaran Islam sampai ke pelosok-pelosok. Para ulama lokal, malah nekat bertandang ke Gresik dan Tuban untuk memperdalam ilmu Islam, dan kembali menyebar Islam di negerinya itu.
Pendekatan yang sama pun digunakan ketika Islam mulai masuk ke Ambon, melalui Hitu. Dialog yang intens dengan kebudayaan kembali terjadi di situ. Dan itu merupakan bukti bahwa perdagangan atau aspek ekonomi hanya menjadi instrumen yang mendorong Islam bergerak dari suatu tempat ke tempat lain, tetapi kebudayaan menjadi instrumen yang membangun rasa keislaman yang tinggi di dalam hidup masyarakat.
Kemudian, ketika Islam masuk ke Indonesia kekuatan koloni Eropa belum bergerak, atau dominasi perdagangan rempah-rempah masih dipegang oleh pedagang Cina dan Arab. Ketika masuk ke Indonesia, Islam merajai jalur-jalur perdagangan yang penting seperti: pesisir Sumatera di selat Malaka, semenanjung Malaya, pesisir utara Jawa, Brunei, Sulu dan Maluku. Jalur perdagangan kayu cendana di Timor dan Islam masih tetap menjadi wilayah non-Islam, dan kurang diminati pada pedagang Islam.
Walau begitu, ketegangan di kerajaan-kerajaan lokal di Maluku, seperti di Ternate tidak bisa diabaikan sebagai bagian dari fakta sejarah ketika Islam berjumpa dengan masyarakat di sana. Tetapi satu hal yang menarik adalah Islam Maluku yang terbentuk dari Ternate itu kemudian meluas ke pulau Ambon, dan terbentuk suatu Pan-Islami, yang terus berkembang ke daerah Lease. Seiring dengan itu, kerajaan Iha di Saparua menjadi simbol kekuatan Islam baru di Maluku Tengah, selain Hitu.
Islamisasi Ternate, Hitu, Lease sebenarnya berlangsung secara wajar karena kekuatan perdagangan Islam mulai terbentuk di kawasan itu. Paramitha Abdoerachman mengatakan Hitu menjadi penting karena banyak pedagang mendapat pasokan air tawar dari situ. Fakta ini pun sebenarnya sama dengan ketika Banda menjadi bandar Islam yang cukup penting, karena pasokan ikan yang enak kepada para pedagang.
Politik damai itu melahirkan simpati kelompok lokal yang semula memeluk agama asli (agama suku) menjadi penganut Islam yang rajin. Bahkan hal itu pun terlihat ketika negeri-negeri Hatuhaha Amarima kemudian menjadi pusat kemashyuran Islam tertua di Lease. Untuk yang satu ini memang perlu penelitian lebih mendalam, sebab Islam Hatuhaha Amarima memiliki tatanan ritus Islami yang khas dan kontekstual, seperti ritus Puasa dan Haji.
Di Maluku kita akan menemui bagaimana orang-orang Islam Tulehu, Liang, Tial, Hila, Latu, Kasieh, Lisabata, Pelauw, Ori, Kailolo, Iha, menggunakan bahasa ibu mereka dalam komunikasi sesehari. Bahasa Arab menjadi bahasa agama yang digunakan dalam upacara sakral agama, tetapi kesehariannya menggunakan bahasa setempat. Fenomena ini tidak lagi ditemui pada negeri-negeri Kristen, kecuali di Maluku Tenggara, tetapi juga sudah mulai ditinggalkan oleh generasi mudanya.
Pada sisi ini, Islam Maluku adalah suatu hasil adaptasi kebudayaan yang sangat penting. Dalam adaptasi itu bagaimana struktur bahasa setempat dijadikan sebagai mekanisme penyebaran ajaran agama, dan ditempatkan sebagai unsur yang penting.
Hal ini yang membuat corak kultural di dalam Islam begitu kuat, karena itu agamanya menjadi gampang diterima dan dipandang sebagai agama yang “membawa damai”. Unsur kedamaian yang dirasakan itu adalah ketika masyarakat tetap berkomunikasi dengan bahasanya, sehingga mereka tidak merasa teralienasi dari kelompok besar.
Memang dalam menentukan corak kultural kepada Islam Maluku kita perlu mempertimbangkan kembali beberapa hal seperti, sejauhmana Islam Maluku itu memanfaatkan ritus-ritus adat sebagai suatu bentuk kontekstualisasinya. Orang Islam, menurut Chauvel, memang tidak suka dengan struktur raja seperti diintroduksi oleh Eropa, dan karena itu malah menganggap [sebagian dari] adat sebagai yang mengandung unsur kafir dan haram.
Tetapi adaptasi Islam Maluku ke dalam bahasa setempat memperlihatkan suatu corak beragama yang unik.
Agama Islam memasuki kepulauan Maluku jelas melalui pedagang-pedagang dan mubalig-mubalig Islam yang ikut bersama mereka. Mengenai tanggal waktu yang tepat dan di daerah mana mula-mula agama ini masuk dan berkembang tidak/belum dapat dipastikan. Namun yang jelas ialah bahwa kira-kira pada abad pertengahan ke 15 agama Islam ini sudah dianut dan bertumbuh pada kerajaan-kerajaan di Maluku Utara.
Menurut Sejarah, pada abad ke 10 dan abad ke 11 sudah ramai perniagaan rempah-rempah di Kepulauan Maluku, terutama cengkeh dan pala, yang dilakukan orang Arab dan Persia.
Diceritakan bahwa di Ternate telah datang seorang ulama Islam yang bernama Datu Maulana Husein. Ulama ini sangat pandai membaca Al-Qur’an dengan suara yang merdu dan menarik, sehingga penduduk yang mendengarkannya jadi tertarik. Sebelum penduduk diajarkan membaca Al-Qur’an, diharuskannya mengucapkan dua kalimat syahadat, sehingga sejak saat itu mulailah penduduk Ternate masuk dan menerima Islam sebagai agamanya.
Atas ajakan Datu Maulana Husein, maka raja Ternate saat itu, Gapi Buta menerima Islam dan mengganti namanya menjadi Sultan Zainal Abidin (14651486 M) yang setelah mangkat baginda disebut Sultan Marhum pada tahun 1486 M.
Sumber sejarah lama dan cerita rakyat secara tradisonal menyebutkan bahwa semua sultan yang memerintah di empat kerajaan utama di Maluku Utara, berasal dari keturunan Jafar Sadik, seorang bangsa Arab keturunan Nabi Muhammad saw. Jafar Sadik kawin dengan puteri Nur Safah, yang tiba di Ternate pada tanggal 10 Muharram 470 H (kira-kira 1015 M). selanjutnya diceritakan bahwa dari perkawinan ini mereka dikaruniai delapan orang anak, empat putra dan empat putri. Keempat putra ini menjadi sultan-sultan pertama dari keempat kerajaan yaitu Ternate, Tidore, Jailolo dan Bacan.
  1. Kerajaan Bacan, sultan pertamanya adalah Kaitjil Buka.
  2. Kerajaan Ternate, sultan pertamanya adalah Sultan Masyhur Malamo. Sultan ke-44 yaitu sultan terakhir adalah Sultan Iskandar Muhammad Jabir.
  3. Kerajaan Tidore, yang menjadi sultan pertama adalah Sultan Suhadjati, bergelar Muhammad Bakil pada tahun 502 H. sultan ke-35 (sekarang) adalah Sultan Zainal Abidin Alting yang dinobatkan pada tahun 1366 H/1947 M.
  4. Kerajaan Jailolo, sultan pertamanya adalah Darajati. Sultan ke-16 (yang terakhir) adalah Sultan Tolabuddin.
Menilik berita yang dibawakan oleh pengembara Arab di zaman itu, di antaranya berita dari pengembara al-Mas’udi, maka orang Arab memang telah sampai ke Timur Jauh pada abad 6, abad 7, dan 9, dan seterusnya. Sebelum penjajah Portugis, orang Arablah yang memegang kendali perniagaan di Selat Malaka sampai ke Tionkok. Di Canton telah didapati orang-orang Arab dan pos perniagaan mereka.
Kemudian Kerajaan Ternate dan Tidore merupakan dua kerajaan di kepulauan Maluku. Dalam sejarah perkembangannya, kedua kerajaan tersebut bersaing untuk memperebutkan kekuasaan politik dan ekonomi. Tidak jarang mereka melibatkan kekuatan-kekuatan asing, seperti Portugis, Spanyol dan Belanda. Kekuatan-kekuatan asing tersebut dalam perkembangannya berambisi pula untuk menguasai secara monopoli perdagangan rempah-rempah di kawasan ini. Persaingan antara kerajaan Ternate dan Tidore diperburuk dengan ikut campurnya bangsa Portugis yang membantu Ternate dan bangsa Spanyol yang membantu Tidore. Setelah memperoleh keuntungan, kedua bangsa barat tersebut bersepakat untuk menyelesaikan persaingan mereka dalam Perjanjian Saragosa ( 22 April 1529). Hasil perjanjian tersebut, Spanyol harus meninggalkan Maluku dan menguasai Philipina, sedangkan Portugis tetap melakukan perdagangan di kepulauan Maluku.
Walaupun sedang bersaing memperebutkan hegemoni di kawasan tersebut, kerajaan-kerajaan di Maluku tetap tidak menginginkan bangsa-bangsa barat mengganggu kegiatan perdagangan di kawasan tersebut. Hal itu merupakan salah satu ciri kerajaan-kerajaan Islam di Maluku. Oleh karena itu, mereka selalu mengadakan perlawanan terhadap kekuasaan asing. Misalnya, perlawanan yang dilakukan oleh Sultan Hairun (1550 – 1570 M) dan perlawanan Sultan Baabullah (1570-1583). Perlawanan yang terakhir ini mampu memaksa bangsa Portugis meninggalkan Maluku dan memindahkan kegiatannya ke Timor Timur (sekarang Timor Leste). Adapaun perlawanan terhadap Belanda dilakukan pada masa pemerintahan Sultan Nuku (1780 – 1805 M).  
Di Tidore datang pula sorang pendakwah alim dari tanah Arab bernama Syekh Mansur. Atas ajakan Syekh Mansur ini, maka Raja Tidore yang bernama Kolano Giriliyati masuk Islam dan mengganti namanya menjadi Sultan Jamaluddin.
Dalam penyebaran Islam ke Sulu dan Mindanau, Kesultanan Ternate berperan besar. Menurut berita bangsa Spranyol, pada tahun 1857 M penyebar-penyebar Islam ke Mindanau itu datang dari Brunei dan Ternate. Di Mindanau para penyebar Islam ini mendirikan madrasah dan masjid.
Masuknya Islam di daerah Pulau Seram Barat adalah dimulai dari daerah Latu dan Bualoy. Disebtukan bahwa pnyebar Islam di daerah ini adalah Maulana Zainal Abidin.
Pemeluk Islam pertama adalah Kapiten Nunusaku (Kapitan Iho Lussy) yang berguru kepada Maulana Zainal Abidin, setelah Iho Lussy memperoleh ilmu agama Islam yang cukup, maka ia pun aktif berdakwah seperti gurunya. Sebagian besar penduduk di daerah Seram memeluk agama Islam adalah berkat jasa kedua pendakwah ini. Setelah Kapitan Iho Lussy wafat maka tugas dakwah Islam dilanjutkan oleh anaknya yaitu Muhammad Lussy.
Masuknya Islam didaerah Maluku Tengah adalah melalui pedagang Islam yang datang dari Jawa Timur. Pusat Islam di Jawa Timur sesudah runtuhnya Majapahit adalah Gresik. Dari Gresik inilah datang ulama Islam bersama para pedagang ke Pulau Ambon, dan mereka semua berpusat di kota pelabuhan Hitu. Jadi, Hitu menjadi pusat penyebaran Islam pada daerah sekitarnya pada tahun 1500 M. diduga masuknya Islam di Pulau Kei pada tahun 1500 M.
Diperkenalkannya agama Islam kepada penduduk Maluku mengakibatkan timbulnya proses Islamisasi. Proses religious cultural ini berpengaruh pada bidang politik pemerintahan sehingga timbul Kerajaan Islam. Islam juga memperkaya hukum adat setempat. Hukum Islam Nampak bergandengan dengan hukum adat. Penggunaan huruf Arab oleh raja-raja, bangsawan, dan penduduk setempat memperkaya pula bahasa daerah. Dari sudut kultur, agama Islam ikut pula menentukan corak kebudayaan masyarakat Maluku yang bercorak Islam.
Pada tahun 1564 M telah disepakati suatu perjanjian oleh Portugis dan Ternate. Untuk mereayakan penandatanganan perjanjian ini, Portugis mengundang Sultan Khairun untuk datang ke kapal Portugis. Yang tidak disukai oleh Sultan Khairun adalah usaha Kristenisasi oleh orang Portugis terhadap rakyatnya yang sudah memeluk Islam. Di saat perjamuan di atas kapal Portugis itu, Sultan Khairum ditikan secara keji oleh salah seorang pengawal/adik dari Gubernur De Mesquite sehinga beliau tewas.
Setelah kejadian ini, putra Sultan Khairun, yaitu Babullah naik tahta menggantikannya. Sultan Babullah (1570-1583 M) memaklumkan perang kepada Portugis. Sultan Tidore berdiri di belakang Ternate. Benteng pertahanan Portugis di Ambon diserbu pasukan Sultan Babullah sehingga bedera Portugis di sini diturunkan orang Ternate/ Tidore dari bentengnya. Kemudian benteng Portugis ini dibakar hingga habis dan orang Portugis yang masih hidup menyingkir ke Malaka.
Sampai tahun 1580 M Ternate dengan Sultan Babullah telah meluaskan kekuasannya ke pulau-pulau sekelilingnya sehingga membentang dari Pulau Mindanau (Filiphina) sampai ke Sumbawa (ini dari utara ke selatan) dan dari Irian ke Sulawesi (dari timur ke barat) termasuk Pulau Buton. Juga Ternate mengirimkan para pendakwah untuk mengajak masuk Islam kepada Buton, Makassar (Ujung Pandang), dan Gowa di Sulawesi. Sultan Babullah mangkat pada tahun 1583 M.
Masjid sebagai bangunan-bangunan sacral dari agama Islam mulai dikenal di Maluku meskipun corak bangunannya itu sendiri mempunyai corak Indonesia dengan atap yang bersusun. Dengan demikian dilihat dari sudut kultur, maka agama Islam turut menentukan corak kebudayaan di daerah Maluku, yaitu kebudayaan yang bercorak Islam.
  1. Penutup
Agama Islam memasuki kepulauan Maluku jelas melalui pedagang-pedagang dan mubalig-mubalig Islam yang ikut bersama mereka. Mengenai tanggal waktu yang tepat dan di daerah mana mula-mula agama ini masuk dan berkembang tidak/belum dapat dipastikan. Namun yang jelas ialah bahwa kira-kira pada abad pertengahan ke 15 agama Islam ini sudah dianut dan bertumbuh pada kerajaan-kerajaan di Maluku Utara.
Diperkenalkannya agama Islam kepada penduduk Maluku mengakibatkan timbulnya proses Islamisasi. Proses religious cultural ini berpengaruh pada bidang politik pemerintahan sehingga timbul Kerajaan Islam. Islam juga memperkaya hukum adat setempat. Hukum Islam Nampak bergandengan dengan hukum adat. Penggunaan huruf Arab oleh raja-raja, bangsawan, dan penduduk setempat memperkaya pula bahasa daerah. Dari sudut kultur, agama Islam ikut pula menentukan corak kebudayaan masyarakat Maluku yang bercorak Islam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar