Senin, 09 Maret 2015

CURAHAN HATI SEORANG IBU

Sahabat-sahabat tercinta, kisah nyata kali ini, sangatlah panjang, perlu kesabaran ekstra dalam membacanya .. tapi Sungguh!! .. sangat bagus, mengharukan dan sarat hikmah di dalamnya, insya Allah .. Jadi tidak berpanjang lebar lagi selamat membaca ..
----
ini adalah curahan hati seorang Ummi pada tarbawi tentang puterinya, Rofiqo Meila Sari.
Rofiqo Meila Sari, anak saya yang ketiga dari lima bersaudara, lahir tanggal 18 Mei 1987. Pada anak-anak saya itu, saya menyimpan harapan yang sama, yakni mereka mencapai pemahaman agama yang baik dan meningkat terus. Pada anak-anak, saya lebih banyak mencontohkan untuk dekat pada agama melalui perbuatan sehari-hari.

Tapi ternyata yang paling kelihatan amat dekat dengan agama adalah Meila, dialah yang rajin dan konsisten melakukan shalat malam, dhuha, puasa Nabi Dauh, puasa sunah Senin Kamis dan lainnya. Di bulan Ramadhan, terutama Ramadhan lalu, dia jarang berada di rumah karena I’tikaf di masjid. Saat saya tanyakan, mengapa sampai demikian giat beri’tikaf, dia menjawab dia ingin memanfaatkan sebaikbaiknya kesempatan beribadah di bulan yang penuh keberkahan itu, apalagi kesempatan untuk beribadah di bulan itu akan datang atau tidak, kita kan tidak tahu.

Banyak kebaikan dan keunikan Meila yang saya rasakan. Dengan cara yang lembut, sambil meminta maaf, dia dapat berdiskusi berbagai hal mendalam bahkan menasehati saya. Dan saya memperhatikan pendapat-pendapatnya., karena saya melihat kepribadian yang cukup matang dan bertanggung-jawab. Terhadap saudara-saudaranya Meila juga perhatian. Bagi kami, Meila adalah pelita keluarga (terdiam).

Saya bahagia dan hati saya tenang, karena meski dia masih muda,namun saya bisa mempercayainya. Hingga saya lebih banyak berpesan dan mewanti-wanti pada adiknya. Kalau adiknya meminta ijin mendatangi suatu tempat, saya banyak berpesan, jangan pulang terlambat, jangan main dulu setelah acara selesai. Kalau dengan Meila, saya tidak melakukan itu. Saya mempercayainya dan yakin dengan apa yang dia lakukan. Saya mengetahui kepribadian dan akhlaknya sehari-hari.

Ketika membaca buku harian Meila Setelah kepergiannya, saya terenyuh. Di buku itu dia mempertanyakan “perbedaan” perlakuan itu. Dia menulis mengapa kalau adiknya akan pergi selalu dikomentari, sedangkan dia tidak. Rupanya dia mempunyai perasaan lain yang dia tuangkan dalam buku itu. Saya sedih saat membacanya. Saya menangis. Ya Allah tidak ada maksud seperti itu.”Saya berdoa,”Meila maafkan Mama kalau kamu mempunyai perasaan itu. Tapi itu karena Mama sangat percaya pada Meila.”

Meila itu remaja yang gemar sekali dengan kegiatan dakwah. Mushala di samping rumah kami (mushala yang didirikan oleh keluarga) dia juga yang meramaikan. Tiap malam Jum’at dia mengajak anak-anak muda untuk pengajian. Bersama teman-temannya, dia mengadakan kursus cara memandikan jenazah, pengobatan gratis dan lainnya.

Dua tahun lalu, di Mushala itu dia juga membuka TPA untuk anak balita. Meski di kampusnya (Meila kuliah di Fakultas Psikologi UIN Syarif Hidayatullah) dia sibuk ikut Lembaga Dakwah Kampus dan kerap mengadakan kegiatan, tapi untuk TPA itu dia juga terjun total (TPA itu menampung 30-an anak). Saya sempat khawatir dan bertanya apa dia tidak terlalu lelah. Tapi dia bilang bahwa anak-anak inilah nantinya yang jadi generasi penerus, dan karena mereka masih sangat muda, masih seperti kertas putih, justru mereka lah yang sangat perlu diperhatikan.

Terhadap anak kecil, dia memang sayang sekali. Terhadap adiknya, keponakan, anak-anak tetangga, dia perhatian sekali. Terhadap adik-adik tirinya (Azizah menikah kembali tahun 2007, setelah suaminya wafat enam tahun lalu), dia sering menanyakan, sudah membuat pe-er belum, sudah belajar belum dan lainnya. Kalau pulang kuliah atau pulang dari berbagai kegiatan lain, dia selalu menanyakan adik-adik tirinya.

Pada adiknya yang sudah remaja, dia sering menasehati, termasuk menasehati adiknya untuk berjilbab. Ketika adiknya kemudian berjilbab, saya menanyakan sebabnya. Selain karena dorongan hati, juga karena ingin mencontoh kakaknya.

Kini adiknya dan seorang teman Meila yang meneruskan mengajar di TPA (tiap hari, sebelum memulai mengajar di TPA pasca kepergian Meila, adiknya mengajak murid-murid untuk berdoa bagi Meila).

Memang di pagi hari saat kepergiannya (Rabu, 14 Mei 2008), sebelum berangkat Meila mengatakan pada adik dan kakaknya di rumah,”Kalu Meila tidak pulang, tolong TPA diteruskan, jangan sampai berhenti ya kegiatannya.” Saudaranya menduga, maksudnya akan menginap karena sedang sibuk menyiapkan suatu acara. Ternyata dia benar-benar tidak akan pulang (terdiam).

Saat Meila berangkat di hari terakhir itu, saya sudah lebih dulu pergi ke sekolah (saya mengajar agama di salah satu SD Negeri di Pondok Pinang). Sedangkan Meila biasanya berangkat setelah shalat dhuha dulu di rumah. Sebelum shubuh, salah seorang saudaranya melihat Meila makan sahur. Dugaan saya, hari itu ia sedang berpuasa nabi Daud.

Kabar yang saya dengar, hari Rabu (14 Mei) itu dengan diboncengkan motor oleh teman perempuannya, Meila membawa proposal untuk pencarian dana acara dakwah di kampus hingga ke kawasan Depok. Tapi saya juga mendengar kabar lain, bahwa dia ke Depok untuk mengajukan lamaran menjadi asisten dosen di Universitas Indonesia.
Pagi jam sepuluh itu, motor yang ditumpangi Meila terserempet mpbil yang datang dari arah berlawanan. Akibatnya Meila terpental hingga masuk ke bawah mobil (terdiam). Ketika ditemukan, dia sudah meninggal di tempat (terdiam). Sedangkan temannya mengalami luka-luka, dan bersama jenazah Meila, segera dilarikan ke rumah sakit di Depok.

Saat mendengat kabar kecelakaan itu, saya tidak diberitahu bahwa Meila sudah meninggal. Ketika menuju rumah sakit, saya berujar pada adik saya yang menyetir mobil, cepat, cepat, saya mau melihat anak saya (terdiam). Tiba di rumah sakit, saya melihat tubuh Meila ditutup kain semuanya, dari kepala sampai kakinya. Saya hanya bisa berdzikir, saya mengucapkan Innalillahi wainna ilaihi raji’uun, saya mengingatkan diri saya, bahwa Allah lebih sayang pada anak saya. Saya sangat sayang pada Meila, tapi Allah lebih sayang padanya. Saya harus ikhlas (terdiam).

Itulah yang menguatkan saya. Kalu tidak banyak mengingat Allah, entah apa jadinya (terdiam).
Saat membuka kain yang menutup wajahnya, subhanallah, saya melihat matanya tertutup rapat dan wajahnya menghadap ke kanan. Ketika saya memperhatikan tubuhnya, subhanallah tidak ada darah sama sekali. Jenazah itu bersih.

Saya hampir tidak percaya melihatnya, tapi itulah yang terjadi. Ada luka di kakinya yang membuat tulangnya nampak, namun tetap tidak mengeluarkan darah. Polisi lalu lintas yang membawa jenazah Meila juga berujar, baru saat itulah ia menemukan jenazah korban kecelakaan lalu lintas yang tidak ada darah sama sekali di tubuhnya (terdiam).

Sewaktu membuka penutup jenazah, saya merasa ada wangi tertentu, namun saya tidak tahu itu wangi apa (seorang teman Meila menuliskan dalam catatan kenangan tentang Meila. Menurutnya, di saat kecelakaan terjadi, dalam ruangan kelas tempat Meila biasa melakukan kegiatan, tercium wangi yang tidak dikenali oleh seorang pun di ruangan itu).

Banyak kemudahan dalam proses itu. Bahkan polisi yang bertugas saat kecelakaan terjadi, di luar dugaan, adalah tetangga yang memang berprofesi sebagai polisi. Ketika kecelakaan terjadi dan ia mencari tanda keterangan diri dalam tas meila, ia kaget saat membaca alamat Meila.

Sehingga kabar pada keluarga pun lebih cepat sampai. Dan polisi itulah yang terus membantu kami, mulai dari pemulangan jenazah Meila dari rumah sakit hingga hal-hal lainnya.

Kemudahan juga terjadi ketika akan memakamkan almarhumah. Saat itu kami diberitahu bahwa tanah perkuburan di daerah Gandarua adalah tanah yang keras, yang tidak mudah untuk digali.

Tiga orang penggali kuburnya mengatakan, makam yang digali di sore hari itu, diperkirakan baru akan selesai jam sebelas malam atau lebih, karena kondisi tanahnya. Akhirnya kami memutuskan untuk memakamkan almarhumah esok paginya saja.

Namun jam tujuh malam, tiba-tiba kami ditelepon. Kata pihak TPU, terjadi keanehan, karena tidak seperti biasanya tanah di sana terasa gembur saat digali. Jadi penggalian itu jam tujuh malam sudah selesai. Kami merasa itu suatu kemudahan yang Allah berikan.

Tanpa kami ketahui, pada tangga; 1 April 2008 Meila ternyata menuliskan wasiat di selembar kertas yang disimpan dalam dompetnya. Di malam hari setelah kecelakaan terjadi, barulah pamannya menemukan surat itu, ketika melihat satu persatu isi tas Meila. Dalam dompetnya, selain ditemukan foto almarhum nenek dan ayahnya, juga ditemukan surat itu.

(Dalam surat wasiat itu tertulis,”Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh. Bismillaahirrajmaanirrahim. Jakarta, 1 April 2008/ 24 Rabi’ul Awwal 1428 H. Saya yang bernama Rofiqo Meila Sari ber-WASIAT :

1. Saya ingin merenovasi kuburan Bapak Nurhasan, ayahanda tercintaku dengan bunga rumput. Serta aku ingin buatkan kaligrafi yang kubuat sendiri.

2. Meramaikan mushala dengan kegiatan-kegiatan bermanfaat.

3. Barang-barang Meila seperti buku-buku, baju, sepatu, tas, dll yang masih layak dipakai untuk diberikan kepada sanak saudara yang membutuhkan (khususnya yang sudah yatim piatu dan fakir miskin), baru untuk orang lain

.4. Organ-organ atau jasadiyah Meila yang masih/ dapat digunakan untuk orang yang membutuhkan tetapi dia harus seorang hamba Allah yang beriman lagi taat.

5. Kalau seadainya bisa, saya ingin dimakamkan di sebelah makam ayahandaku.

6. Jika saya memiliki harta lebih 50%-nya untuk pembangunan masjid, kegiatan-kegiatan dakwah, santunan yatim piatu atau lainnya yang dapat membawa kemaslahatan ummat.

7. Untuk saudara/saudariku tolong sayangi Mama dan saling sayang-menyayangi, komunikatif, wastashaubil haq watawashaubishabr.
8. Tolong kirimkan do’a terbaikmu untukku yang terlah dahulu.

Salam cinta. 
Rofiqo Meila Sari.

Membaca surat itu, kami terkesima, subhanallah, dia tentu tidak mengetahui bahwa sebulan kemudian akan mengalami kejadian itu (terdiam). Namun atas kuasa Allah, dia terdorong untuk menuliskannya. Surat itu juga menunjukkan sifat Meila yang lain, bahwa dia seorang pemaaf. Karena menggunakan kata ‘kalau seadainya bisa.’ Nampak bahwa dia tidak ingin “memaksakan” keinginannya.

Kami berusaha untuk memenuhi apa yang tertulis dalam surat itu. Sebagian besar insya Allah dapat dipernuhi. Namun tidak semuanya dapat terpenuhi. Karena surat itu ditemukan di malam hari, sudah sekian jam dari peristiwa itu terjadi, maka keinginan utnuk mendonorkan organ tubuh sudah tidak bisa dilakukan (terdiam). Seorang kerabat mengatakan bahwa organ mata masih dapat didonorkan meski telah berjam-jam kemudian.

Namun ternyata kami kesulitan untuk memenuhi syarat “harus seorang yang beriman lagi gaat”. Kami khawatir syarat itu tidak terpenuhi, maka kami akhirnya tidak melakukan pula hal itu.

Saya terharu sekali karena dia berpesan pada adik dan kakaknya untuk menyayangi saya. Memang sehari-harinya dia sangat sayang pada saya. Segala sesuatunya untuk ibunya (menangis). Ibaratnya tidak apa-apa dia susah, asalkan ibunya bahagia (menangis).

Dia kelihatan ingin sekali berbakti sama ibunya (menagis). Sampai mengagajar privat di beberapa tempat dan seluruh pendapatannya diberikan pada saya.

Kalau saya menolak dan mengatakan uang itu dipakai saja untuk ongkosnya sehari-hari, dia tidak mau. Dia bilang ingin memberikan uang itu pada saya. Karena tidak tega untuk menolaknya, saya terima. Dan setiap hari tetap saya berikan uang untuk transportnya. Begitu inginnya dia memberikan ibunya uang, meski dia sendiri tidak punya uang untuk transport.

Beberapa hari sebelum kejadian itu, dia malam Minggu (10 Mei 2008) Meila bilang pada saya, “Ma, maafin Meila ya, Meila pengen ngomong … .. Bulan depan Mama tidak perlu lagi memberikan Meila uang jajan. Tapi Meila juga tidak bisa memberikan uang sama Mama. Tapi rejeki insya Allah akan berkah Ma.” Setelah itu dia mencium tangan saya. Saat itu saya menduga dia sudah ada pemasukan tambahan lainnya, dan sudah dapat memenuhi kebutuhannya sehari-hari.

Saya menangis terharu, karena anak saya mempunyai pemikiran ingin meringankan orang tuanya. Saya berpikir, mungkin karena adiknya yang di pesantren akan masuk Madrasah Aliyah dan perlu biaya tambaan, maka dia berusaha mencari tambahan untuk pemasukan.

Saya berkata bahwa saya akan mendoakannya (terdiam). Dia menjawah,”Iya Ma, doakan Meila ya…”. Setelah itu dia kembali meminta maaf (terdiam). Itulah kali terakhir saya berbicara lama dengannya.

Sebagai orang tua, saya merasa kepatuhan, perhatian, dan rasa sayang Meia pada saya sangat istimewa. Kalau saya lelah, Meila langsung mengambilkan minum dan memijat kaki saya. Kalau saya belum makan, dia bahkan menawarkan untuk menyuapi saya makan (terdiam). Dia terus membujuk sampai saya mau makan, karena kalau sudah lelah, saya terkadang terlupa untuk maka. Karena tidak ingin dia kecewa, kadang saya mau disuapi, dan setelah itu giliran saya yang menyuapi dia makan (tertawa).

Meila juga senang sekali mengerjakan perkerjaan rumah. Memasak, membersihkan rumah, merapihkan taman, sampai membersihkan selokan depan rumah.

Beberapa hari sebelum kepergiannya, dia masih membersihkan selokan (terdiam). Meski campek sepulang kuliah, tapi kalau ada mencuci baju, dia selalu mencucikan baju-baju lainnya yang ada di ember. Meski sebenarnya adik dan kakaknya mencucui sendiri baju masing-masing, tapi siapa pn akan akan dia cucikan. Kalau saya katakan jangan dicuci semua, dia Cuma bilang, tidak apa-apa Ma, kan sekalian mencuci baju Meila.

Ternyata kebaikannya juga dirasakan oleh lingkungan. Sungguh saya tidak menduga, saat membawa jenazah Meila pulang, sejak diujung jalan, orang-orang sudah penuh sesak (terdiam). Semua menangisi kepergian dia. Saya sangat terharu (terdiam).

Di rumah, tamu-tamu yang bertazkiah, teman-teman kuliahnya, teman-teman sekolah, teman sesama penggiat dakwah, guru-gurunya, berdatangan terus, hingga rumah dan jalan penuh sesak. Kata kerabat saya, yang datang hingga ribuan (terdiam). Guru-gurunya juga meminta dengan sangat untuk ikut memandikan jenazah. Saat itulah saya mengetahui, beteapa banyak yang menyayangi dia (terdiam, suaranya bergetar).

Ternyata bukan di rumah saja Meila bersikap sangat baik pada saya dan keluarga, dan bersemangat kalau untuk persoalan berdakwah di lingkungan, tapi juga di kampus dan tempat-tempat lain. Selain mengajar privat ilmu alam, dia juga memberikan les privat agama. Seorang dosennya bercerita pada saya, sehari sebelum kecelakaan itu, Meila mengajak teman-temannya berkumpul dan menasehati mereka.

Saya ingat saya pernah menanyakan mengapa ia aktif sekali di LDK. Saya khawatir ia terlalu lelah dan jatuh sakit. Namun Meila menjawab bahwa di kampusnya, meski berpredikat universitas islam, namun suasananya tidak banyak berbeda dengan kampus lainnya dalam hal keagamaan.

Hingga dakwah di kampus sangat diperlukan. Dan kalau tidak mengajak berdakwah, bagaimana nanti tanggung jawab di akhirat ?
Beberapa hari setelah kepergiannya, saya menemukan buku hariannya.

Di dalamnya saya membaca janji yang ia buat tiga tahun lalu. (Dia buku itu tertulus, “Bismillahirrahmaanirrahim.
1. Mengajak untuk mengingat Allah SWT.
2. Mengajak untuk mengingat dosa-dosa. 
3. Mengajak (untuk menyayangi) orang tua. 
4. Mensyukuri nikmat-nikmat Allah.
5. Taubat.

Dear Diary, tahun nggak ini adalah salah satu konsep yang aku buat pada malam Minggu kemarin, 30 April ‘05 untuk muhasabah. Uh…uh… bagaimana ya… aku juga sebenarnya takut karena aku sendiri aja takut nggak bisa menjalankan apa yang aku sudah katakan. Tapi kita tidak boleh menghakimi diri kita “tidak bisa” karena pada dasarnya manusia itu bisa melakukan apa saja. Mudah-mudahan aku bisa menjalankan sunnah-sunah Rasulullah di dalam kehidupanku sehari-hari.
Amien ya..Rabbal..Alamin..
Maka dari itu aku bernama Rofiqo Meila Sari, asyhaduallaaailaahaillallah waasyhaduanna muhammadarrasulullah, aku berjanji :

1. Taat kepada Allah swt dan rasu-Nya. 
2. Taat pada orang tua dan guru. 
3. Rajin belajar dan giat beramal. 
4. Cinta alam dan kasih sayang kepada manusia. 
5. Akan selalu menjalankan janji ini. Amien ya Rabbal alamin.
Mudah-mudahan Meila bisa menggapai cita-cita Meila dan dapat membahagiakan orang-orang di sekitarku. Allahu Akbar, Jakarta, 2 Mei 2005.”)

Sepertinya, emang di sekitar waktu itulah terasa Meila menjadi semakin baik. Kemungkinan besar dia merasa harus melakukan apa yang dia tekadkan. Dalam akhlak sehari-harinya hal itu kemudian sangat nampak. Taqarubnya pada Allah juga sangat meningkat.

Kalau sebelumnya dia beribadah belum serajin itu, saya merasa di sekitar waktu itulah dia melakukan perubahan yang mendalam (terdiam).

Di buku harian itu juga dia menuliskan bahwa dia tidak mau berpacaran. Dia inginnya ta’aruf yang dibenarkan agama. Namun sejak sekitar bulan April, Meila beberapa kali mengatakan pada tantenya bahwa ia ingin menikah di bulan Mei. Pada murid-muridnya yang sering menanyakan kapan dia menikah, Meila juga menjawab, insya Allah di bulan Mei ini.

Pada teman-temannya dia juga mengatakan seperti itu. Ternyata di bulan Mei, yang terjadi adalah kepergiannya (terdiam). Namun apa rahasia di balik itu, hanya Allah Yang Maha Tahu.

Mengingat kepergian meila, saya teringat bagaiman ayahnya berpulang enam tahun lalu. Sekitar 40 hari sebelum wafat, ayahnya mengatakan pada saya, bahwa dia berharap akan wafat saat sedang shalat atau saat membaca Al-Qur’an. Dia juga mengatakan ingin dimakamkan dimana. Dan juga berpesan berbagai hal pada saya selaku istrinya.

Namun saat itu saya tidak menduga bahwa sekitar 40 hari setelah itu dia ternyata berpulang.
Ramadhan terakhir dalam hidupnya, ayah Meila mengabdi penuh di mushala. Ia tadarus Al-Qur’an hingga berkali-kali khatam. Di hari Juma’at sehari sebelum wafat, bersama saya dia menjenguk anak kami yang di pesantren.

Esoknya, saat shalat shubuh di mushala, dia berujar pada temannya untuk menggantikannya menjadi imam. Temannya menolak dan mengatakan merasa malu menjadi imam (karena ada orang lain yang dirasa lebih mampu).

Namun suami memaksa dan mengatakan, kamu harus menjadi imam, supata ada yang menggantikan kalau dia tidak ada. Akhirnya temannya itu mau menjadi imam. Saat rakaat pertama shalat shubuh itu, ketika tiba pada ayat waladhaallin, dan makmun mengucapkan amin, suami saya jatuh tersungkur. Ia meninggal saat itu juga. Tanpa sakit apapun sebelumnya. Saya kaget sekali. Dan sangat sedih. Namun saya menyimpan keharuan dan harapan, semoga dengan kepergian seperti itu, insya Allah dia mencapai husnul khatimah.
Harapan yan sama kini saya doakan untuk Meila anak saya (terdiam). Saya juga berharap, nasihat-nasihatnya dapat saya amalkan. Ketika saya merasa beban hidup demikian berat, ketika merasa berbuat baik namun mendapat tanggapan yang kurang baik dari orang lain, Meila biasanya bilang pada saya bahwa Allah memberikan cobaan untuk orang yang kuat. Kalau orang yang tidak kuat, tidak akan diberikan cobaan seperti itu. Dia bilang, “Insya Allah Mama kuat.”

Kata-kata itu selalu terngiang di hati saya. Membuat saya tergugah bahwa Allah memberikan cobaan pada saya, karena insya Allah saya kuat. Meski kesedihan datang, namun selalu timbul kekuatan di balik itu, kalau semuanya dikembalikan pada Allah.

Sekitar satu minggu sebelum kepergian Meila, entah mengapa saya merasa sedih dan gelisah. Saat itu Meila menanyakan, “Mama ada apa, kok Mama sedih. Mama yang sabar ya Ma, orang sabar disayang Allah…Nanti Mama akan merasakan manisnya kesabaran…”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar